Kebutuhan energi dirasakan sangat meningkat saat sekarang ini. Sumber energi fosil yakni bahan bakar minyak telah dieksploitasi habis-habisan. Di daerah pedesaan beberapa negara berkembang biaya transportasi menjadi pembantas untuk distribusi bahan bakar fosil ini dan dalam berbagai hal telah banyak terjadi bahwa biaya produksi, harga, dan penggunaan sumber daya energi lebih banyak dipengaruhi oleh kebijaksanaan produksi nasional daripada kekuatan pasar yang ada. Sumber daya energi fosil yang tersedia di perut bumi semakin berkurang sedangkan jumlah penduduk bumi semakin bertambah. Oleh karena itu dalam mengantisipasi krisis energi, banyak negara termasuk Indonesia yang sudah memulai untuk mengembangkan energi terbarukan (renewable energy) pada era tahun 1970 an.
Dewasa ini usaha peternakan di Indonesia cukup maju dan berkembang pesat dibandingkan dengan dua atau tiga dasawarsa yang lalu. Hal ini akibat dari masuknya bibit-bibit unggul dari luar negeri yang dikembangbiakan secara intensif seperti masuknya ayam boiler dari Eropa, sapi potong dari Australia, dan lain-lain. Apalagi dengan campur tangan perusahaan-perusahaan besar yang telah membuka usahanya dalam bidang peternakan secara besar-besaran.
Sebagai akibat dari banyaknya usaha-usaha dalam bidang peternakan tersebut adalah terakumulasinya limbah petenakan berupa feses (kotoran) dan sisa pakan. Potensi limbah peternakan di Indonesia cukup besar. Sebagai gambaran dapat dilihat data berikut ini : 1 (satu) ekor sapi dewasa menghasilkan feses sekitar 20 kg/hari (Gunnerson dan Stuckey, 1986). Berdasarkan data tersebut jika dikonversi dalam perusahaan penggemukan sapi dengan jumlah antara 1500-7000 ekor, akan menghasilkan feses sebanyak 30-140 ton per hari atau sekitar 10.9-51.1 ribu ton per tahun. Jumlah yang sekian besar ini hanya dari sebuah perusahaan penggemukan sapi saja. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa potensi limbah peternakan, khususnya limbah dari usaha peternakan sapi yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu dicarikan upaya penanganannya. Disamping sebagai pupuk kandang, kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk bahan bakar, dengan terlebih dahulu dibuat briket agar tampilannya lebih baik dan lebih mudah dalam penggunaannya sebagai bahan bakar.
Biogas merupakan salah satu sumber renewable energy yang mampu menyumbangkan andil dalam usaha memenuhi kebutuhan bahan bakar . Bahan baku sumber energi ini merupakan bahan nonfosil, umumnya adalah limbah atau kotoran ternak yang produksinya tergantung atas ketersediaan rumput dan rumput akan selalu tersedia, karena dapat tumbuh kembali setiap saat selama dipelihara dengan baik. Sebagai pembanding yaitu gas alam yang tidak diperhitungkan sebagai renewable energy. Gas alam berasal dari fosil yang pembentukannya memerlukan waktu jutaan tahun.
Sistem biogas bertujuan untuk mengumpulkan gas metan, yaitu gas yang mudah terbakar yang dapat digunakan untuk memasak, alat penerangan gas, menjalankan mesin-mesin pembakaran, dan menciptakan energi listrik. Gas metan tercipta secara alami ketika kotoran hewan, kotoran manusia, sekam padi, daun-daun, tanaman air dan rumput membusuk. Dalam sistem biogas, bahan-bahan yang membusuk ini dikumpulkan dalam tangki biogas, gas akan terperangkap dan terkumpul dalam tangki untuk kemudian dimanfaatkan. Bahan-bahan baru dapat terus ditambahkan ke dalam tangki, dan bahan-bahan lama dapat dikeluarkan dan bisa dimanfaatkan sebagai pupuk berkualitas tinggi. Limbah yang dihasilkan dari dari manusia maupun hewan cukup besar.
Berikut ini adalah desain unit pembangkit biogas:
1. Tipe Fix Dome : Tipe ini digunakan untuk membuat biogas dengan bahan baku kotoran sapi, daun-daunan kering, ataupun sampah organik lainnya.
2. Tipe terapung: Tipe ini digunakan untuk membuat biogas dengan bahan baku limbah yang berasal dari rumah sakit, rumah tangga, ataupun pabrik.
sedangkan untuk melihat detail desain biodigester tipe terapung silakan
klik disini